Sama halnya dengan versi Sofyan Tanjung (ST), dalam versi Haji Muchtar Tanjung (HMJ), pemukim awal di wilayah Tanjung Limau Purut adalah rombongan Datuk Umar Palangki yang berasal dari Kampung Palangki Minangkabau. Namun bedanya dalam versi HMJ yang membawa atau sebagai kepala rombongan adalah ayah Datuk Umar Palangki yaitu Datuk Agung Palangki. Sementara, Sofyan Tanjung tidak ada menyebut nama Datuk Agung Palangki.
Dalam versi ST, perselisihan antara kaum adat dan kaum agama yang diperuncing oleh campur tangan belanda menyebabkan meletusnya perang padri pada abad XIX di Minangkabau. Kekacauan politik inilah yang menjadi latar belakang hijrahnya keluarga Datuk Umar dan rombongan.
Lain halnya dalam versi HMJ. Dikisahkan, pada tahun 1700, satu rombongan dari Kampung Palangki Minangkabau berangkat dengan menggunakan lancang atau perahu yang bernama Gajah Ruku. Anggota rombongan terdiri dari Datuk Agung Palangki bersama dua orang anak dan menantunya. Antara lain Datuk Umar beserta istri dan Kulo beserta suaminya Matjanggut. Selebihnya adalah sanak saudara dan handai taulan yang bersedia hijrah mencari wilayah yang baru.
Menurut HMJ, banyak faktor yang membuat mereka berhijrah. Ada yang berkaitan dengan harta pusaka, keinginan merubah nasib dan sebagainya. Bagi orang Minang sendiri, merantau bukanlah suatu hal yang asing bahkan menjadi sudah menjadi tradisi yang terkenal dengan jiwa perantau. Tujuan utama Datuk Agung Palangki merantau adalah Malaysia, karena sudah banyak juga orang-orang sekampung dengan Datuk Agung yang merantau ke negeri seberang seperti Siam, Filipina dan sebagainya.
Dikisahkan, Datuk Agung beserta rombongan berlayar pada musim Barat Laut. Pada musim itu angin bertiup sangat kencang dan laut berombak besar. Banyak kapal nelayan yang hilang tenggelam dilaut apabila nekat melaut pada musim tersebut. Namun Datuk Agung bersama rombongan akhirnya tetap memutuskan untuk berlayar ditengah cuaca yang tidak bersahabat.
Apa yang dikhawatirkan Datuk Agung pun akhirnya terjadi. Ketika lancang Gajah Ruku telah berada di tengah lautan, dilamun ombak dan badai. Lancang tersebut terombang-ambing dalam hempasan gelombang. Bila nakhoda tak ahli dalam meniti ombak, alamat kapal akan tenggelam. Dalam kondisi seperti itu, nakhoda telah kehilangan arah dan kapal terus terseret arus gelombang laut sehingga tak lagi mengarah pada tujuan semula.
Masa di lautan sudah tiga hari tiga malam dan diperkirakan semestinya mereka sudah sampai ke tempat tujuan, Malaysia. Tapi baik nakhoda dan awak kapal tidak tahu sama sekali mereka sedang berada di perairan mana. Sementara itu, perbekalan sudah mulai menipis. Beberapa saat kemudian dari kejauhan tampak burung-burung yang datang dan mengitari lancang Gajah Ruku yang menandakan adanya daratan yang tak jauh dari perairan tersebut. Ketika menjelang pagi, bayang-bayang hijau pepohonan yang menandakan mereka telah dekat dengan daratan.
Mengetahui hal itu, Datuk Agung memerintahkan agar kapal diarahkan ke tempat itu. Daratan yang ditemukan merupakan sebuah kuala yang di tengahnya terdapat beting yang menjorok ke laut. Pada beting itu banyak terdapat kulit tiram. Daratan tersebut kosong tanpa penghuni dan sepertinya belum terjamah manusia. Kuala tersebut merupakan muara sungai yang besar dan berarus deras. Lancang Gajah Ruku memasuki mulut sungai tersebut berlayar ke hulu untuk mencari air tawar dan perbekalan makanan.
Beberapa lama mudik ke hulu, akhirnya mereka menemukan sumber air tawar yang airnya bisa diminum. Datuk Agung memerintahkan untuk membuang sauh dan berlabuh. Salah seorang awak kapal melihat sampah yang hanyut di sungai yang diantaranya banyak terdapat kulit jagung yang hanyut yang menandakan ada rumah atau kampung di hulu. Kapalpun kembali berlayar lebih ke hulu. Hal ini sebuah pertanda baik. Berarti ada rumah atau perkampungan di hulu. Kejadian ini diberitakan kepada Datuk Agung yang sedang istirahat. Mereka menemukan sebuah rumah tak jauh dari sungai. Datuk Agung turun dari kapal bersama beberapa orang yang ditunjuknya untuk berkunjung ke rumah tersebut. Sementara yang lain diperintahkan untuk tetap berada di kapal.
Setelah saling mengucapkan salam dan bertegur sapa, Datuk Agung menceritakan hal ihwal mereka. Karena sang tuan rumah merasa bahwa Datuk Agung adalah orang yang baik, jujur dan terhormat, maka ia dengan sungguh-sungguh meminta untuk tidak perlu lagi meneruskan perjalanan ke Malaysia dan tinggal menetap membuka kampung di wilayah tersebut. Datuk Agung beserta rombongan dengan senang hati menerima tawaran tersebut.
Rombongan dari Palangki itu pun membuka hutan, mendirikan perkampungan dan bercocok tanam di wilayah tersebut. Singkat cerita, setelah tiga kali mengetam padi (tiga kali masa panen), empat orang pemuda datang menghadap Datuk Agung Palangki untuk menyampaikan hasrat yang sudah lama terpendam. Ternyata mereka berempat telah jatuh hati pada putri si pemilik rumah yang memiliki empat orang anak perempuan. Tapi anehnya keempat pemuda itu masing-masing ingin mempersunting gadis yang sama yang paling cantik diantara ketiga saudarinya. Anehnya, Datuk Agung menerima permohonan empat orang pemuda tadi untuk melamar ke orang tua si gadis. Namun pada akhirnya Datuk Agung merasa menyesal karena menerima permintaan yang tak mungkin. Bagaimana bisa empat orang pria menikahi seorang gadis. Tapi ia sudah terlanjur mengiyakan, tak mungkin ia tarik kembali kata-katanya sendiri.
Dengan perasaan bingung, Datuk Agung pergi menghadap si pemilik rumah yang juga orang tua si gadis yang hendak dilamar. Dengan berat hati, Datuk Agung menyampaikan maksud kedatangannya. Mendengar itu, tuan rumah pun ikut merasa heran tapi anehnya ia pun menerima lamaran yang diajukan Datuk Agung untuk keempat pemuda itu. Namun akhirnya ia juga ikut menyesal mengapa secara sepontan, tanpa berfikir panjang menerima saja lamaran yang diajukan oleh Datuk Agung Palangki.
Di kediaman masing-masing, baik Datuk Agung maupun si pemilik rumah terus berdoa agar Tuhan memberi jalan keluar yang terbaik dari masalah yang sedang dihadapi. Mereka berharap agar tidak seorang pun merasa dikecewakan apalagi sampai terjadi pertumpahan darah.
Syukur alhamdulillah, doa dan harapan mereka akhirnya terjadi. keajaiban terjadi. Bebarapa hari kemudian keempat anak gadis si pemilik rumah berubah wajahnya menjadi mirip satu sama lain. Sama rupa dan cantiknya dengan salah seorang saudara kandung mereka yang ingin dilamar oleh keempat pemuda dari rombongan Datuk Palangki tersebut. Masing-masing pemuda-pemudi tersebut kemudian dinikahkan dan diberikan kepada masing-masing pasarangan suami istri itu wilayah sebagai pemukiman. Daerah-daerah yang ditempati oleh masing-masing pasutri tersebut kemudian diberi nama Limau Laras, Tanah Datar, Lima Puluh dan Pesisir.
Namun begitu, persoalan yang dihadapi Datuk Agung masih belum selesai. Setelah pembagian wilayah tersebut, Datuk Agung menghadapi tabiat dan sikap, Datuk Umar berubah, seolah ada rasa kecewa dan tidak puas yang terpendam dihati. Bahkan, Datuk Umar bersama istrinya saban malam berlatih silat. Melihat perubahan sikap tersebut, Datuk Agung merasa tak enak hati. Beliau kemudian memanggil anaknya untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Datuk Umar merasa kecewa dan tidak puas dengan keputusan ayahnya. Ia merasa ayahnya tidak memperdulikannya. Semestinya Datuk Umar juga diberikan wilayah pemukiman sebagaimana halnya empat orang pemuda tersebut. Datuk Agung menjelaskan kepada anaknya bahwa ia merasa tidak berhak untuk membagi-bagikan wilayah karena daerah tersebut bukanlah milikinya. Datuk Agung kemudian menunjukkan kepada anaknya suatu tempat yang masih belum berpenghuni yang bisa dibuka menjadi perkampungan. Datuk Umar menerima usul ayahnya.
Datuk Umar dan istri dengan beberapa orang pengikut kemudian berangkat ke wilayah baru tersebut. Mengenai hal ini, HMJ menjelaskan sebagai berikut:
Semua telah siap datuk Umar akan melaksanakan hijrah yang kedua kalinya dimana ditemani oleh 1. Panglim Tenggang 2. Panglima Hitam 3. OK. Japar dan istrinya Saonah , inilah ayah Datuk Sokin ayah OK. Ahmad Bakri Alamsyah Kuwala Tanjung. Tidak lama dalam perjalanan samapilah mereka di muka kuwala Tanjung, dengan penuh keyakinan mereka kesatu Pematang yang luas dimana diatasnya tumbuh pohon Limau Purut yang besar.
Disanalah Datuk Umar beserta rombongan menjadikan wilayah tersebut sebagai perkampungan. Mengingat jumlah mereka yang sedikit dibanding wilayah yang begitu luas untuk dibuka, Datuk Umar mengundang dan menjemput orang-orang dari daerah tempat asalnya untuk menetap di wilayah baru itu.
Datuk Umar bersama Panglima Tenggang, orang kepercayaan Datuk Agung Palangki kemudian berangkat ke kampung halaman mereka di Minangkabau. Tapi mereka tidak sampai kesana melainkan hanya sampai di wilayah Kampar. Datuk Umar dan Panglima Tenggang bertemu dengan sahabat lama yaitu Nakhoda Indrajaya anak Nakhoda Peduko Sindo. Temannya yang lain adalah Datuk Maabut yang ahli membuat kapal.
Sebuah lancang yang sudah lama tersandar dan tak laik berlayar milik Nakhoda Peduko Sindo kemudian diperbaiki oleh Datuk Maabut. Dalam beberapa hari kapal tersebut sudah sudah siap untuk berlayar mengarungi lautan yang diberi nama Tabolo. Datuk Umar, Panglima Tenggang, Nakhoda Indrajaya, Datuk Maabut bersama rombongan dari Kampar yang mau ikut merantau kemudian berangkat menuju wilayah yang baru dibuka oleh Datuk Umar.
Tanah Merah, 17 Juni 2022
Abdul Kahar Kongah
0 Komentar