OK Momad dan Pemindahan Ibu Kota

Hulu Sungai Tanjung

Foto: Hulu Sungai Tanjung Dilihat Dari Titi Pagok (Doc. Pribadi)[1]

Pemindahan pusat pemerintahan Tanjung Limau Purut pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan OK Momad (OK Mamat alias Datuk Mohammad). Pemindahan ini dilatarbelakangi  oleh krisis politik di negeri-negeri di sekitar Tanjung Lima Purut, terutama di  Batubara dan Asahan.  Krisis ini disebabkan oleh campur tangan Belanda yang telah menduduki dan memaksakan kepentingannya di wilayah tersebut.

Akibat pendudukan Belanda tersebut, Datuk Batubara, OK Abdullah melakukan perlawan. Malang tak dapat ditolak, pemberontakan OK Abdullah dapat dipatahkan. Mengenai hal ini,  Sofyan Tanjung  mengutip  tulisan Tengku Lukman Sinar sebegai berikut:

Di darat tentara (Belanda) mengobrak-abrik meskipun perlawanan rakjat segara dapat dipatahkan. Di Kampung Batu Bagan O.K Abdullah (Putra dan wakil dari Datuk Laksamana Putra Raja) dapat ditawan dan karena melawan Belanda menambah kebiadaban dengan membakar rumahnja sebagai peringatan kepada rakjat agar djangan tjoba-tjoba Yangmelawan.

Tindakan sewenang-wenang juga dilakukan Belanda di Asahan. Sultan Amadsyah disingkirkan dan sebagai penggantinya, Belanda mengangkat Yang Dipertuan Raja Muda Asahan yang didampingi (diawasi)  seorang contelir Belanda. Sementara itu, Sultan Ahmadsyah yang telah dimakzulkan, lari ke pedalaman menyusun kekuatan untuk melakukan perlawanan.

OK. Abdullah maupun Sultan Ahmadsyah merupakan sahabat baik OK. Momad. Mendengan kedua peminpin dan rakyatnya diperlakukan secara kejam dan sewenang-wenang, membuat OK Momad marah dan juga waspada. Hanya tinggal menunggu waktu nasib yang sama akan menimpa dirinya dan Tanjung Limau Purut. Untuk  mengantisipasi  hal tersebut, OK Momad memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah yang lebih ke pedalaman.  Dengan menggunakan perahu, rombongan OK Momad mudik ke hulu sungai Tanjung kurang lebih sejauh 20 kilometer.

Perpindahan ibu kota ini ke hulu sungai Tanjung bisa  dipandang cukup strategis dari sisi pertahanan. Mengingat, Pertama, Belanda belum bisa masuk ke wilayah lebih ke pedalaman (Simalungun), karena wilayah-wilayah di pesisir masih belum sepenuhnya dikuasai oleh pasukan Belanda.  Terutama Asahan yang masih menyisakan perlawanan dari Sultan Ahmadsyah yang menyingkir ke pedalaman. Kedua, hulu sungai Tanjung berbatasan dengan Negeri Bandar yang merupakan wilayah kekuasaan saudara iparnya, Toromanggung. Bila dibutuhkan, OK Momad bisa meminta bantuan pasukan ke iparnya tersebut.  Atau bila pasukannya terdesak, mereka bisa melarikan diri ke dalam hutan.

Sebagaimana dijelaskan oleh Sofyan Taajung selanjutnya, perpindahan ibu kota ini terjadi pada tahun 1866. Daerah yang dijadikan pusat pemerintahan yang baru tersebut diberi nama Tanjung Muda[2]. Penamaan ini kemungkinan merujuk nama Tanjung Limau Purut yang diartikan sebagai wilayah yang lebih tua atau wilayah yang petama kali ditempati sebelum pindah ke tempat yang baru.  Pengertian kata ‘Muda’,   sama halnya dengan kata ‘Baru’  atau  ‘New’ dalam bahasa Inggris yang juga berarti ‘baru’. Contohnya koloni Belanda di Amerika Utara menamakan wilayah yang mereka tempati dengan nama ‘New Amsterdam’ atau ‘Amsterdam Baru’ , kemudian dirubah menjadi ‘New York’ . Perubahan ini terkenal lewat  ‘tukar guling’  Pulau Run di Maluku dengan Manhattan di New York antara pemerintah Kolonial Belanda dengan pemerintah Kolonial Inggris[3].

Apa yang diperkirakan OK Momad pun akhirnya terjadi.  Pasukan Belanda memasuki Tanjung Limau Purut. Namun tak bisa menemukan pemimpin) daerah tersebut, karena telah pindah ke Tanjung Muda.  Untuk masuk ke wilayah hulu (padalaman), pasukan Belanda masih sangsi, khawatir akan mendapat perlawanan dari pasukan OK Momad dan rakyat di pedalaman.

Belanda hanya bertemu dengan Panglima Saman (Soman) yang memang diperintahkan OK Momad untuk menjaga wilayah Tanjung Limau Purut. Oleh Belanda, Panglima Soman dipaksa untuk menangkap OK Momad. Tapi Panglima Soman tidak mau menghianati pemimpinnya. Ia bersama pasukannya memberontak melawan Belanda. Namun perlawanan itu dapat dipatahkan dan Panglima Soman akhirnya tertawan kemudian dibawa ke Tanjung Balai.

Perihal perpindahan ibukota dari Tanjung Limau Purut ke Tanjung Muda ini, tidak diceritakan dalam buku yang ditulis, baik oleh Morna, Flores Tanjung, dkk., maupun dalam makalah Haji Muchtar Tanjung.  Perpindahan ini hanya diceritakan dalam paper Sofyan Tanjung meskipun tidak begitu detil.  Ia menjelaskan bahwa wilayah Tanjung Muda,  berada di hulu Sungai Tanjung yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Tanjung Limau Purut. Letaknya di atas sebuah bukit di pinggir sungai Tanjung.



[1] Foto diambil dari Titi Pagok. Sungai Tanjung merupakan aliran sungai Bahbolon. Dari foto diatas terlihat percabangan. Cabang sebelah kanan merupakan pangkal Sungai Tanjung, sementara cabang sebelah kiri merupakan pangkal Sungai Pare-Pare (Sungai Alang Tahar)

[2] Tanjung Muda saat ini menjadi nama desa di hulu Sungai Tanjung. Desa ini masuk wilayah Kecamatan Air Putih Kabupaten Batubara. 

Posting Komentar

0 Komentar