Foto: Ilustrasi |
Dalam artikel sebelumnya dijelaskan tentang konflik antara Datuk Mat Janggut sebagai Pemangku Kedatukan Tanjung Limau Purut dengan anak-anak Datuk Umar Palangki. Konflik kekuasaan ini disebabkan Datuk Mat Janggut tidak menyerahkan tahtanya kepada Maarus, anak tertua Datuk Umar Palangki sebagaimana yang sudah seharusnya
Lebih lanjut Sofyan Tanjung menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Mat Janggut, sebagian wilayah Utara Pesisir Pantai Timur Sumatra telah dikuasai oleh Kesultanan Siak. Termasuk wilayah Tanjung Limau Purut. Ketika Belanda berhasil menguasai Siak, maka wilayah-wilayah vassal Siak secara otomatis jatuh ke tangan Belanda. Mengutip, Tengku Lukman Sinar[1] Sofyan Tanjung menjelaskan sebagai berikut:
Setelah menerima laporan lengkap dari Radja
Burhanuddin itu, maka pada tanggal 2-8-1862 Residen Netscher sendiri berangkat
dari Bengkalis untuk memaksakan perlindungan Belanda kepada keradjaan-keradjaan
ketjil di Sumatra Timur,
Dalam perjalanan tersebut Netscher juga
mengunjungi Tanjung Limau Purut dan melaporkan bahwa: ‘
Sungai Tanjung berpenduduk 400 orang
dibawah Penghulu Amat[2]
Penghulu Amat yang dijumpai Netscher pada tahun 1862[3], menurut
Sofyan Tanjung adalah Datuk Umat / Amat (Mat Janggut) sebagai pengganti Datuk.
Waktu itu Datuk Umar Palangki sudah wafat. Kedudukan Datuk Mat janggut sebelumnya hanya sebagai pemangku dengan jabatan atau gelar Penghulu. kemudian
dikukuhkan oleh Residen Netscher sebagai Datuk atau Raja menggantikan Datuk
Umar Palangki yang secara otomatis juga diakui oleh Sultan Siak. Sehingga sejak
saat itu Datuk Mat Janggut bukan lagi sebagai pemangku tetapi sebagai Datuk
atau Raja. Campur tangan Belanda dalam
kekuasaan di Tanung Limau Purut akhirnya menciptkan konflik kekuasaan yang
masing-masing pihak sebenarnya masih dalam ikatan keluarga[4].
Pengangkatan dan pengukuhan Datuk Umat (Mat
Janggut) sebagai Datuk oleh Belanda dan secara tidak langsung juga dari Sultan
Siak lemungkinan membuatnya tetap memegang tampuk pimpinan di Tanjung Limau Purut.
Ia tidak lagi hanya sebagain pemangku yang bila saatnya tiba harus menyerahkan
jabatannya kepada Maarus, anak sulung Datuk Umar Palangki yang sebelumnya ia ‘pangku’.
Atas pengangkatannya tersebut, Datuk Mat Janggut memiliki
kuasa penuh dan memiliki hak untuk
menentukan siapa kelak yang akan menjadi penggantinya.
Namun begitu, Datuk Umat (Mat Janggut) cukup
bijak. Untuk mencegah konflik semakin meruncing dengan pihak ahli waris Datuk
Umar Palangki yang merupakan bagian keluarganya sendiri, Datuk Mat Janggut memilih mengundurkan diri
dan meletakkan jabatan. Keputusan ini diterima oleh pihak-pihak yang
berkonflik. Sebagai pengganti Datuk Umat
adalah putra sulungnya bernama Mamat yang kemudian bergelar Orang Kaya Mamat.
Namun menurut Haji Muchtar Tanjung , Datuk Mat
Janggut tidak mengundurkan diri, melainkan meneruskan jabatannya sebagai Datuk
sampai akhir hayatnya. Sebagai pengganti adalah adiknya bernama Datuk Momat. Begitu juga dalam versi Morna yang menyebutkan
bahwa
Datuk Mat Janggut memgang jabatan hingga ia meninggal dunia. Tapi, baik Morna maupun Flores Tanjung dkk,
menyebutkan yang menjadi pengganti Datuk
Mat janggut adalah anak bungsunya bernama Datuk Mohammad (Momad).
Dari keterangan di atas, kita menemukan dua
perbedaan. Pertama, apakah Datuk Umat alias Datuk Mat Janggut
memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Datuk ataukah tetap terus
menjabat hingga ia meninggal dunia. Kedua, siapakah yang menjadi pengganti
Datuk Mat Janggut yang sekaligus menjadi raja ketiga Kedatukan Tanjung Limau
Purut? Apakah Putra sulungnya ataukah adiknya, atau anak bungsunya?. Mengenai
nama pengganti Datuk Mat Janggut juga memiliki penyebutan yang berbeda-beda:
Mamat, Momat dan Mohammad (Momad). Kemungkinan ini adalah orang yang sama hanya
penyebutannya saja yang berbeda.
Dalam buku Morna maupun Flores Tanjung, dkk dijelaskan, setelah Datuk Mat Janggut wafat, maka ditunjuklah anak sulung beliau yang bergelar Datuk Panglima Soman. Namun Panglima Soman menolak dengan alasan ia hanya ingin menjadi panglima perang saja. Selanjutnya ditunjuklah putra yang kedua bernama Khatib Menan, namun beliau juga menolak karena ia hanya ingin mengurus persoalan agama dan sosial.
Bila benar bahwa Datuk Mat Janggut memutuskan mengundurkan diri dan meletakkan jabatannya, dan disisi lain kedua anaknya menolak kedudukan dan jabatan yang ditawarkan kepada mereka, keputusan ini dapat dinilai sebagai keputusan yang bijak. Keputusan ini dapat mendamaikan kedua pihak yang saling berkonflik yakni keluarga Datuk Mat Janggut dan keluarga Datuk Umar Palangki yang sebenarnya masih kerabat dekat. Selain itu keputusan ini dapat mementahkan taktik pecah belah Belanda yang ingin melemahkan kekuatan dan supremasi pemimpin lokal kala itu. .
[1] Tengku Lukman Sinar SH, Sari Serdjarah Serdang Djilid I, 1971, Medan hal.
64.
[2] Ibid, hal. 54
[3] Penjelasan Sofyan Tanjung di atas menunjukkan bahwa pada tahun 1862
Datuk Mat Janggut sedang menjabat Pemangku Kedatukan/Kerajaan Tanjung Limau
Purut. Semetara menurut Haji Mucntar Tanjung, Morna dan Flores Tanjung, dkk.,
meyebutkan bahwa Datuk Mat Janggut mulai memerintah pada tahun 1784 (Terpaut 78
tahun). Demgan kata lain setelah 78 tahun Datuk Mat Janggut menjabat sebagai
Pemangku/Penghulu, baru kemudian bertemu dengan Residen Netscher. Rentang waktu
78 tahun cukup lama dan agak disangsikan.
[4] Tindakan ini mungkin merupakan politik pecah belah Belanda (Devide et impera) untuk memperlemah kekuatan dan kekuasaan pemimpin lokal. Namun kerena
kebijaksanaan Datuk Mat Janggut, taktik tersebut belum membuahkan hasil.
0 Komentar