Tak terasa kita sudah memasuki tahun politik. Pemilihan Umum tahun 2024 sudah semakin mendekat. Geliat persiapan jelang pemilu semakin terasa.
Seorang Kepala Desa juga merupakan pemimpin politik di tingkat lokal. Ia dipilih dan terpilih lewat kontestasi demokrasi yang bernama pemilihan kepala desa. Dengan perolehan suara mencapai ratusan bahkan ribuan, seorang kepala desa merupakan 'vote getter' potensial dalam konstelasi politik praktis. Kemampuannya untuk mempengaruhi khalayak membuatnya menjadi seorang 'influencer' yang patut diperhitungkan. Dus, kewenangannya yang cukup besar dalam sebuah organisasi pemerintahan yang bernama Pemerintahan Desa (Pemdes), membuat seorang kepala desa bisa dijadikan mesin politik yang efektif dalam memobilisasi massa.
Dengan segala potensi yang dimiliki tersebut, kepala desa sering kali berusaha digiring atau tergiring oleh partai politik untuk menjadi mesin politik non partai di arus bawah. Bukan rahasia umum di era sekarang ini partai politik menancapkan akarnya di tingkat akar rumput dengan memfasilitasi kadernya untuk merebut kursi kepala desa.
Menarik apa yang yang diberitakan oleh inilah,com pada 31 Mei 2022 lalu:
Menurut anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan bahwa kepala desa dan Aparatur Sipil Negara (ASN) rentan dimobilisasi pada tahun politik danseringkali berada dalam posisi terjepit.
“Modal kepala daerah kalau menang (pemilu) itu menggunakan dua jalur, mobilisasi ASN dan perangkat kepala desa,” kata Endi Jaweng, dalam diskusi bertajuk “Sinergi Pengawasan Netralitas ASN pada Pemilu dan Pilkada Serentak 2024”, di Kantor Ombudsman, Jakarta (inilah.com 31/5/2022).
Lebih jauh dia menjelaskan, “Ada yang dinamakan politisasi birokrasi. Jadi ada partai politik, pejabat dan tokoh politik yang akan melakukan intervensi ke birokrasi, apalagi pejabat petahana akan mencoba intervensi birokrasi untuk memberikan dukungan kepada dia.”
“Biasanya sebelum pilkada, ASN membantu kepala daerah, bahkan jajaran strategis ASN pun adalah orang yang dekat dengan kepala daerah. Ini pintu masuk yang terkadang mengubah peta permainan politik dan harus diawasi. Kita harus mengawasi ASN dan kepala desa dalam melihat potensi adanya maladministrasi dalam pelayanan publik,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, anggota Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) Arie Budhiman mengatakan, pengawasan KASN selama 2020-2021, terdapat lima kategori pelanggaran netralitas ASN. Tertinggi yakin berkaitan dengan pemilu sebesar 30,4%, kampanye atau sosialisasi di media sosial untuk mengarahkan kemenangan calon (22.4%), foto bersama bakal calon (12,6%), menghadiri deklarasi pasangan bakal calon (10,9%) dan mendekati parpol terkait pencalonan (5,6%).
“Pengawasan netralitas ASN dalam pemilu makin kompleks karena munculnya praktik birokrasi berpolitik,” kata Arie. (lihat https://www.inilah.com/tahun-politik-asn-dan-kepala-desa-rentan-dimobilisasi)
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, Kepala Desa, Perangkat Desa dan Aparatur Sipil Negara (ASN) dilarang untuk terlibat dalam politik praktis. Dengan demikian netralitas mereka harus dijaga.
Adapun larangan untuk berpolitik praktis berdasarkan Undang-Undang sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Pasal 29 huruf (g) disebutkan bahwa Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.
Perangkat desa yang terdiri dari sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis juga dilarang untuk terlibat dalam politik praktis. Pasal 51 huruf (g) menyebutkan bahwa Perangkat Desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah. Selanjutnya, larangan berpolitik praktis untuk anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) termaktub dalam pasal 64
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal 280 ayat 2 huruf (h), (i), dan (j) yaitu pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan Kepala Desa, Perangkat Desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sementara itu pada ayat 3 disebutka bahwa setiap orang sebagaimana disebut pada pasal 2 dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu.
Selanjutnya Pasal 282 ; Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye.
3. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Pada pasal 70 ayat (1) huruf (c) disebutkan bahwa Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan. Selanjutnya, pasal 71 ayat (1) disebutkan bahwa Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Tamer, 8 Januari 2023
0 Komentar