Kecenderungan korupsi yang saat terlihat lebih massif dibanding dengan dengan era sebelumnya. Banyak pengamat menyimpulkan bahwa di era Orde Baru korupsi dilakukan secara terkonsolidasi di level pemerintah pusat. Sementara sekarang ini di era otonomi dan desentralisasi, budaya korupsi ikut juga terdesentralisasi. Korupsi meliputi hampir seluruh aspek pemerintahan daerah hingga menciptkan oligarki elit lokal. Sehingga, seperti banyak yang kita saksikan di media massa, banyak pejabat daerah beserta keluarganya ditangkap dan dipenjara karena terlibat kasus korupsi.
Bahkan belakangan ini, korupsi sudah menjamah hingga ke pemerintahan paling bawah yaitu desa. Bisa dibilang kondisi ini berawal ketika negera memberlakukan UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa. UU ini memberikan kepada kepala desa (pemerintahan desa) kewenangan yang besar untuk menyusun dan melaksanakan pembangunan desa disertai dana desa dengan jumlah yang cukup besar. Wewenang yang besar juga membuka peluang yang besar untuk bertindak koruptif. Tren tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala desa beserta perangkatnya tampaknya semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Tindakan korupsi di tingkat desa biasanya sudah dirancang sejak awal perencanaan pembangunan desa. Misalnya dengan memasukkan program tertentu dalam rencana pembangunan desa yang menguntungkan pelaku baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan pihak lain. Tindakan lain adalah dengan me'mark-up' rencana anggaran proyek maupun kegiatan tertentu diatas harga yang seharusnya. Penggelembungan honor/upah pekerja. Ketiga modus operandi itu yang paling sering dilakukan. Kecurangan lain yang juga dapat dilakukan antara lain:
• Membuat program pembangunan desa fiktif.
• Mengajak/menggiring tokoh masyarakat dalam forum perencanaan pembangunan (seperti dalam Musrembang Desa) untuk menyetujui program tertentu dan menjanjikan keuntungan dikemudian hari.
• Mengajak bersepaham dengan BPD untuk mengesahkan program pembangunan tertentu dengan menjanjikan keuntungan baik secara pribadi ataupun secara bersama-sama.
• Pemangkasan anggaran program pembangunan desa yang kemudian dialokasikan untuk kepentingan kepala desa atau aparat pemerintah desa baik secara langsung maupun tidak langsung.
• Pemalsuan bukti penerimaan honor/upah warga masyarakat peserta padat karya program pembangunan desa, padahal warga masyarakat tersebut tidak dilibatkan.
• Pemalsuan terhadap bukti transaksi/kwitansi belanja barang pembangunan desa dimana baik jumlah barang yang dibeli maupun total biaya tidak sesuai dengan fakta dilapangan.
• Pelaporan program pembangunan sebagai program pembangunan yang bersumber dari dana desa, namun dalam prakkteknya bersumber dari pendanaan yang lain.
• Janji pemberian hadiah berupa uang dan bentuk lainnya kepada BPD agar pelaporan pertanggungjawaban kepala desa dinilai baik
0 Komentar