Badan Penyelenggara Produk Halal (BPJH) Kementrian Agama RI dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar rapat koordinasi sebagai tindak lanjut dari adanya produk yang bernama tuyul, tuak, beer dan wine yang bersertifikat halal (Selasa, 8 Oktober 2024).
Hadir dalam rapat tersebut Kepala BPJH Muhammad Aqil Irham, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Mamat S. Burhanudin, Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh dan Ketua Komite Fatwa Produk Halal Zulfa Mustofa serta jajaran pada masing-masing lembaga. Rapat konsolidasi ini untuk mengidentifikasi nama-nama produk yang disinyalir dilarang dalam fatwa MUI.
Dari data yang diperoleh, terdapat 5.314.453 produk bersertifikat halal. Produk dengan nama bermasalah sebanyak 151 produk. Dari 151 produk tersebut diidentifikasi 30 nama produk yang dikecualikan dan 121 yang tidak dikecualikan. Sebagian berasal dari sertifikasi halal lewat skema reguler yang ketetapan halalnya berasal dari Komite Fatwa Produk Halal.
Ketua bidang fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan bahwa tidak semua kata 'wine' atau bir terlarang. Misalnya 'red wine' yang merujuk jenis warna yang seecara empiris digunakan di tengah masyarakat. Merujuk fatwa MUI nomor 44 tahun 2020 misalnya yang secara 'urf (kebiasaan di tengah masyarakat) dikenal sebagai sesuatu yang biasa dan tidak terasosiasi dengan sesuatu yang aram diperbolehkan mendapat sertifikasi halal. Misalnya bir pletok yang dikenal sebagai jenis minuman tradisional yang halal, suci dan tidak terasosiasi dengan pengertian bir yang mengandung alkohol.
"Produk yang secara substansial memang tidak sejalan dengan fatwa, kita akan komitmen melakukan perbaikan dan juga meminta pelaku usaha melakukan perbaikan dan perubahan sesuai dengan standar fatwa." tegas Niam.
"Dengan demikian (rapat) konsolidasi ini akan semakin mengakselerasi prosie penyelenggaraan sertifikasi halal dan edukasi ini ntuk kepentingan publik, untuk jaminan perlindungan halal dan juga kepentingan ketepatan secara syar'i." lanjutnya.
di pihak lain, Ketua Komite Fatwa Produk Halal Zlfa Mustofa mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu ragu terhadap sistem jaminan produk halal (SJPH) serta sertifikat halal yang dikeluarkan oleh BPJPH yang diterbitkan berdasarakan fatwa yang dikuluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal.
"Karena pada dasarnya kami menggunakan acuan yang sama, standar fatwa ang sama, kemudian juga melalui proses audit yang sama, walaupun memang di produku reguler mungkin sedikit lebih rumit," jelas Zulfa.
"Oleh karenanya pada hal-hal yang tadi sudah disepakati, ada yang dikecualikan maupun yang tidak dikecualikan. Akan ada mekanisme yang kita lalui bersama. Ada proses perbaikan dan juga proses afirmasi kepada mereka."
"Masyarakat harus memiliki kepercayaan kepada Sistem Jaminan Produk Halal yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan juga yang fatwanya dikeluarkan leh Komite Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Prduk hala." tandasnya.
Seperti diketahui sesuai amanat peraturan perundang-undangan, sertifikasi halal dilakukan pelaku usaha meluli dua skema. Pertama skema reguler, yaitu prosesnya diawali dengan pengajuan sertifikasi halal melalui sihalal BPJPH, kemudian pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal yang dilakukan oleh auditor halal. Hasil audit ini kemudian disidangkan pada sidang fatwa oleh Komisi Fatwa MUI. Hasil sidang berupa ketetapan kehalalan produk kemudian menjadi dasar BPJPH menerbitkan sertifikat halal by system secara digital.
Kedua, sertifikasi halal dengan sekma self decalare atau pernyataan pelaku usaha. Skema diawali dengan penajguan sertifikasi halal oleh pelaku usaha mikro dan kecil (yang produknya dipastikan berbahan halal dan diproses sederhana) melalui akun sihalal. Kemudan Pendamping Proses Produk Halal (P3H) melakukan pendampingan kepada pelaku usaha untuk memastikan kehalaln baik bahan maupun proses produksi. Hasil pendampingan selanjutnya disidangkan pada sidang fatwa oleh Komite Fatwa Produk Halal secara digital oleh BPJPH melalui Sihalal.
(bpjph.halal.go.id)
0 Komentar