Ketua MUI Bidang Fatwa Prof. Asrorun Niam Sholeh (mui.or,id) |
Terkait video di media sosial yang menginformasikan adanya produk dengan nama tuyul, tuak beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementrian Agama RI, pihak MUI menegaskan bahwa itu tidak sesuai dengan standar fatwa Majelis Ulama Indonesia dan itu tidak dibenarkan.
Menyikapi hal itu, MUI melakukan investigasi dan menggelar pertemuan yang dipimpin langsung oleh Ketua MUI Bidang Fatwa Prof. Asrorun Niam Sholeh di kantor MUI (Senin, 30/9/2024) untuk menemukan kejelasan persoalan tersebut.
Dikutip dari laman resmi MUI, Niam menyatakan bahwa penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. "Karena itu, MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk-produk tersebut." tegas Niam dalam rapat yang dihadiri pimpinan Komisi Fatwa MUI dan unsur masyarakat pemerhati dan pegiat halal nasional yang melaporkan kasus ini ke MUI.
Dalam rapat tersebut didapatkan informasi bahwa kejadian itu valid, bukti-buktinya jelas terpampang dalam website BPJPH, dan diarsipkan oleh pelapor. Namun belakangan nama-nama produk tersebut tidak muncul lagi di aplikasi BPJPH.
Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan. Diantaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah pada kekufuran dan kebatilan. Selain itu, dalam ketentuan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk Yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal, produk halal tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada nama benda atau binatang yang diharamkan, termasuk babi dan khamr atau alkohol. Kecuali produk tersebut termasuk dalam produk tradisi ('urf) dan sudah dipastikan tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti bakso, bakmi, bakpia, bakpao dan sebagainya.
Niam juga menegaskan MUI akan berkoordinasi dengan BPJPH agar kasus serupa tidak terulang. "Jangan sampai merusak kepercayaan publik yang bisa berdampak buruk bagi upaya penjaminan produk halal. Masyarakat harus diyakinkan dengan kerja serius kita. Kalau masyarakat sudah tidak percaya, bisa hancur. Jangan sampai hanya mengejar target kuantitatif jadinya yang keluar adalah halal-halaln." tegas Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah ini.
Fatwa MUI No.44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal, yang ditandatangani Hasanudin Abdul Fattah dan Asrorun Niam Sholeh sebaga Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI, memuat ketentuan sebagai berikut:
a. Produk yang menggunakan nama dan/atau simbol-simbol kekufuran, kemaksiatan, dan/atau berkonotasi negatif;
b. Produk yang menggunakan nama benda/hewan yang diharamkan, kecuali
1) yang telah mentradisi (‘urf) yang dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan
2) yang menurut pandangan umum tidak ada kekhawatiran adanya penafsiran kebolehan mengkonsumsi hewan yang diharamkan tersebut
3) yang mempunyai makna lain yang relevan dan secara empirik telah digunakan secara umum
c. Produk yang berbentuk babi dan anjing dengan berbagai desainnya
d. Produk yang menggunakan kemasan bergambar babi dan anjing sebagai fokus utama
e. Produk yang memiliki rasa/aroma (flavour) unsur benda atau hewan yang diharamkan
f. Produk yang menggunakan kemasan yang berbentuk dan/atau bergambar erotis dan porno
0 Komentar